Permasalahan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
- LATAR BELAKANG
Fungsi yang paling pokok dari sebuah bank sentral adalah bertindak
sebagai the bankers’ bank atau lender of the last resort.
Bank melakukan transaksi setiap harinya. Salah satu yang
termasuk kegiatan bank paling intensif adalah lalu lintas uang antar
bank yang disebabkan karena lalu lintas giro dari semua pemegang
rekening bank. Bank berutang kepada bank lain kalau uang nasabah
berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang
keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah
persis sama dengan jumlah uang keluarnya.
Di antara seluruh bank yang ada di negeri ini, semuanya dihitung
menjadi satu, sehingga setiap akhir hari posisinya setiap bank
ketahuan, apakah saldonya plus atau minus. Penyatuan keseluruhan
ikhtisar lalu lintas uang antara semua bank ini disebut clearing
(kliring). Kalau sebuah bank mengalami saldo minus, tetapi masih
mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu sangat normal menurut
(Kwan Kian Gie)
Terkadang bank berakhir dengan posisi minus yang lebih besar
jumlahnya dari uang yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, namanya
“bank kalah kliring”, atau bank dalam posisi minus.
Biasanya, dalam posisi seperti ini, kalau jumlahnya tidak
terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa meminjam dari inter
bank money market atau call money market yang kegiatannya
pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan hanya dibolehkan untuk bank.
Kalau jumlahnya terlampau besar, sehingga minusnya tidak dapat
ditutup dengan pinjaman dari inter bank call money market,
bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun dengan persyaratan
tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana mestinya. Bank dalam
posisi seperti ini sudah harus diawasi dengan ketat.
Walaupun harus dengan persyaratan, bank sentral
wajib memberikan talangan supaya bank yang bersangkutan dapat
membayar kepada bank yang mempunyai utang.
Melihat status BI yang menjadi bank sentral,
Akhir-akhir ini permasalahan laporan
hasil audit Bank Indonesia oleh Badan Pemeriksa Keuangan sangat
banyak dibahas dan diberitakan. Salah satu masalah yang mencuat
berkaitan dengan audit tersebut adalah yang menyangkut apa yang
kemudian disebutkan sebagai bantuan likuiditas yang diberikan Bank
Indonesia kepada perbankan, Yang dikenal sebagai BLBI.
Dan atas permintaan DPR, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
menerbitkan laporan audit investigasi bernomor 06/01/Auditama
II/AI/VII/2000 tertanggal 31 Juli 2000. Dengan Judul “LAPORAN AUDIT
INVESTIGASI Penyaluran dan Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS BANK
INDONESIA (BLBI)”.
Ringkasan Eksekutifnya dimulai dengan “Audit dilakukan pada Bank
Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, yaitu 10 Bank Beku Operasi
(BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan
15 Bank Dalam Likuidasi (BDL).”
Berikut ini kutipan beberapa permasalahan
yang penting sebagai berikut.
“BI tetap tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang sudah
mengalami overdraft dalam jumlah besar dan waktu yang lama.”
“Dispensasi kepada bank-bank yang rekening gironya bersaldo debet
untuk tetap mengikuti kliring, pada mulanya diberikan dalam jangka
waktu tertentu tanpa ada batasan jumlah maksimal. Namun dalam
perkembangan selanjutnya dispensasi tersebut diberikan tanpa batasan
waktu dan jumlah maksimal.”
“Dispensasi semacam itu sudah dilakukan oleh BI jauh sebelum krisis
menimpa sistem perbankan nasional. Hal ini terbukti dari adanya
beberapa bank yang sudah lama overdraft sebelum krisis, namun tidak
dikenakan sanksi stop kliring.”
Meskipun permasalahan sudah
ada titik terang akan tetapi
ramainya perdebatan mengenai hal ini belum menambah kejelasan
mengenai apa sebenarnya masalah tersebut dan karena itu sulit pula
digambarkan bagaimana penyelesaiannya. Pada waktu yang sama ada yang
berpendapat bahwa semuanya sudah jelas dan tudingan siapa yang
dianggap salah bahkan vonis nampaknya telah berjatuhan. Bank
Indonesia dikatakan bobrok, bangkrut dan ternyata memang sarang
penyamun.
Dengan
melihat pada latar belakang dan perkembangan permasalahan yang masih
nampak simpang siur tersebut. Seandainya semua tuduhan itu benar,
mudah-mudahan bukan dilancarkan atas konsep, informasi maupun anlisis
yang kurang tepat. Permasalahannya demikian serius, sayang kalau
kesimpulannya ditarik atas dasar berbagai hal yang kurang jelas dan
dapat menimbulkan keraguan.
- RUMUSAN MASALAH
- Apa yang dimaksud dengan BLBI?
- Apa pokok permasalahan yang melandasi skandal BLBI?
- Bagaimana kronologis terjadinya BLBI?
- Bagaimana penyelesaian kasus BLBI yang sedemikian rumit itu?
- TUJUAN
- Untuk mengetahui penjelasan mengenai BLBI.
- Untuk mengetahui pokok permasalahan dalam skandal BLBI.
- Untuk mengetahui kronologis terjadinya BLBI.
- Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian kasus BLBI.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
BLBI merupakan fasilitas dari Bank Indonesia
untuk menjaga kestabilan sistim pembayaran yang dapat terganggu
karena ketidak seimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan
dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun panjang. BLBI juga
merupakan fasilitas untuk menjaga kestabilan sistim perbankan yang
bisa terganggu karena penarikan dana perbankan secara besar-besaran
pada bank-bank, Dan menyangkut fasilitas yang dipakai dalam operasi
pasar terbuka, penyelamatan bank maupun dana talangan dalam menjaga
kestabilan sektor perbankan. Secara umum BLBI adalah fasilitas
Bank Indonesia yang tersedia bagi perbankan diluar kredit likuiditas
BI (KLBI).
Komponen terbesar dari BLBI adalah bantuan likuiditas Bank Indonesia
yang diberikan kepada bank-bank yang mengalami masalah ketidak
seimbangan antara penerimaan dan penarikan dana yang tidak dapat
ditutup dengan sumber lain. Suatu bank dapat menghadapi masalah
ketidak seimbangan aliran dana ini, meskipun kondisinya baik atau
sehat. Dalam perkembangan harian, bisa saja aliran dana masuk dari
tagihan lebih kecil dari yang keluar karena kewajibannya. Dalam suatu
kliring harian, bank yang pembayarannya lebih besar dari pemasukan
dananya, disebut kalah kliring.
Berbeda dengan apa yang secara umum masyarakat berpendapat,
sebenarnya suatu bank kalah kliring bukan merupakan masalah yang
harus dirisaukan atau ini sebenarnya suatu hal yang biasa saja. Tentu
saja ini berbeda dengan keadaan kalah kliring secara terus menerus.
Kalau ini terjadi maka bank tersebut tentu menghadapi masalah diluar
ketidak seimbangan aliran likuiditas harian, termasuk masalah tidak
solven yang bersumber pada besarnya kredit macet atau masalah
manajemen.
Mengenai masalah kalah kliring ini nampaknya ada kesan di masyarakat
yang tidak seluruhnya benar. Di masayarakat kita rumor adanya bank
kalah kliring (tidak harus benar terjadi)
bisa menyebabkan nasabah pada berama-ramai menarik dana deposito dan
tabungannya dari bank yang didesas-desuskan kalah kliring tersebut.
Ini implikasi dari transparansi yang belum ada dan kurang mengertinya
masyarakat (bukan salah masyarakat). Hal ini berpadu dengan
memburuknya kredibilitas otorita di masyarakat pada waktu krisis yang
kemudian menyebabkan timbulnya reaksi masyarakat secara ekstrim
seperti beramai-ramai menarik dana mereka.
Pada waktu krisis rumor demikian banyak beredar dan sangat mengganggu
pengelolaan kestabilan sistim perbankan. Ada bank yang diberitakan
salah satu cabangnya di Singapore ditutup dan ini menyebabkan
terjadinya penarikan dana nasabah cukup besar, padahal bank yang
bersangkutan punya cabang di Singapore saja tidak. Ada pula bank yang
diberitakan pemiliknya, seorang konglomerat, meninggal dan ini
menimbulkan dampak yang serupa pada bank tsb. Sedihnya persaingan
yang kurang sehat antar perbankan sering mendorong terjadinya rumor
yang dapat mempersulit posisi suatu bank. Ini masalah belum kuatnya
'governance' pada industri perbankan kita, tidak hanya pada
otoritanya. Kalau hal ini meluas maka akhirnya justru merugikan
perbankan sebagai sistim. Ini memang terjadi pada
waktu kredibilitas otorita dan Pemerintah pada umumnya menurun
dalam krisis yang berkepanjangan.
Dalam keadaan normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana
untuk menutup kekurangan tersebut dengan meminjam dari bank lain.
Pinjaman ini dicari dari pasar uang antar bank dengan suku bunga yang
berlaku. Di Jakarta untuk sejumlah bank besar (dulu sebanyak lebih
dari 20 bank) terdapat tingkat bunga antar bank yang disebut JIBOR (
Jakarta Inter Bank Offer Rate ) yang menjadi patokan. Akan tetapi
untuk bank-bank lain, bank-bank kecil, biasanya harus membayar bunga
yang jauh lebih besar dari suku bunga yang berlaku bagi bank-bank
besar yang tergabung dalam JIBOR ini. Karena pinjaman ini hanya untuk
jangka waktu sangat pendek, suku bunga pinjaman antar bank ini lebih
tinggi dari yang berlaku untuk pinjaman kepada nasabah biasa yang
diketahui masyarakat luas.
Pada waktu krisis keuangan mulai menyerang perbankan, yaitu setelah
keketatan likuiditas meningkat sebagai implikasi dari pengambangan
rupiah dan tindakan mempertahankan nilai rupiah melalui kebijaksanaan
fiskal (menahan pengeluaran rutin), kebijakan moneter (peningkatan
suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali lipat dan penghentian
pembelian SBPU oleh BI) dan gebrakan pada dana
perbankan (pengalihan deposito berbagai BUMN dan Yayasan menjadi
SBI), maka menurunnya kepercayaan antar bank mulai dirasakan. Pasar
uang antar bank menjadi lebih terkotak-kotak, bank yang masih
mempunyai kelebihan likuiditas harian tidak bersedia melepas
likuiditasnya di pasar uang antar bank. Kalau bersedia melepas
likuiditas yang berlebih, hanya kepada bank lain yang benar-benar
dikenalnya, dan melepasnya dengan suku bunga yang sangat tinggi.
Dalam keketatan likuiditas sekitar September 1997 ada bank yang harus
membayar suku bunga setinggi 200% per tahun, bahkan lebih tinggi lagi
untuk memperoleh dana guna menutup kekurangan likuiditasnya. Ini yang
menimbulkan sebagian kritik menyalahkan kebijakan pengambangan rupiah
pertengahan Agustus 1997.
Sebagian bank tidak dapat memperoleh akses likuiditas sama sekali,
padahal mengalami masalah mismatch likuiditas. Bank-bank inilah pada
dasarnya yang terpaksa lari ke BI untuk mengajukan permintaan bantuan
likuiditas. Mengapa terpaksa? Karena sebenarnya, dalam keadaan
normal, mereka tidak mau kalau diketahui bank lain bahwa mereka pergi
ke BI untuk meminta bantuan likuiditas. Dalam keadaan normal hal ini
dianggap sama dengan menunjukkan kelemahan mereka kepada bank-bank
lain, yang merupakan suatu tabu. Selain itu suku bunga fasilitas
diskonto ini lebih tinggi dari suku bunga pasar antar bank,
karena mengandung suatu hukuman atau penalty. Di sinipun nampaknya
terdapat salah pengertian di masyarakat. Seolah-olah BLBI ini seperti
kredit likuiditas BI untuk program-program Pemerintah melalui KLBI
yang suku bunganya lebih rendah dari suku bunga pasar atau ada unsur
subsidinya. Padahal suku bunga BLBI selalu lebih tinggi dari suku
bunga pasar antar bank (JIBOR) yang juga lebih tinggi dari suku bunga
untuk nasabah biasa bank, karena jangka waktunya sangat pendek.
Ini salah satu sebab mengapa dalam keadaan sangat ketatnya lukuiditas
dan dalam keadaan menurunnya kepercayaan terhadap perbankan BLBI ini
meningkat besar, karena jumlah pokok dana itu sendiri maupun suku
bunganya yang jauh lebih tinggi dari suku bunga pasar. Selain
itu, bagi bank yang kehilangan dana deposito dalam valas, pada waktu
ada penarikan besar-besaran, maka keperluan dana bantuan likuiditas
dalam dollar ini pada waktu dirupiahkan menjadi sangat besar sebagai
akibat dari terpuruknya nilai rupiah selama krisis.
Mungkin perlu dikemukakan di sini bahwa setiap
bank itu mempunyai rekening pada BI. Di dalam rekening ini ada
tagihan perbankan kepada BI yang minimal sebesar cadangan wajib bank
yang harus disimpan di BI atau yang disebut
giro wajib minimum (GWM).
Sebagaimana diketahui, sejak Pakto 1988 besarnya giro wajib minimum
ini adalah 2% dari dana pihak ketiga yang semula tidak perlu disimpan
di BI. Akan tetapi sejak tahun 1996 saya lakukan perubahan, GWM
dinaikkan menjadi 3% dan setahun kemudian menjadi 5% dari dana pihak
ketiga. Selain itu mulai saat tersebut dana GWM harus disimpan di BI.
Mungkin masyarakat ingat betapa gencarnya kritik dari banyak pengamat
waktu BI meningkatkan GWM, padahal dalam benak saya peningkatan itu
harus dilanjutkan untuk mendorong kehati-hatian perbankan. Coba
bayangkan seandainya ketentuan GWM belum dirubah jumlah BLBI tentu
akan lebih besar lagi. Dalam keadaan normal biasanya bank mempunyai
saldo positif pada BI lebih besar dari GWM tersebut, sekedar untuk
jaga-jaga.
Kalau suatu hari bank kalah kliring, bisa juga
bank yang bersangkutan menggunakan dana yang ada di BI tersebut
sepanjang ini masih tidak mengurangi GWM. Bank akan cari sumber
diluar BI sedapat mungkin dan tidak akan menggunakan dananya untuk
pemenuhan GWM, karena implikaksi dari penggunaan fasilitas BI maupun
penalti yang harus dibayar kalau ketentuan GWM dilanggar. Sanksi
pelanggaran GWM adalah 150% dari JIBOR overnight untuk setiap
pelanggaran dan terus meningkat
menjadi 400% dari JIBOR kalau pelanggaran terjadi dalam dua minggu
berturut-turut.
- Pokok permasalahan
- Perbedaan Sudut Pandang
Pemberian BLBI nampaknya dilihat sebagai suatu
tindakan yang mengandung unsur penyelewengan oleh Bank Indonesia dan
karena itu merupakan suatu bukti kebobrokan bank sentral ini. Ini
bahkan digambarkan sebagai suatu tindakan yang dapat dilihat sebagai
penjarahan uang rakyat untuk memperkaya konglomerat yang dilakukan
oleh pemilik berbagai bank bekerjsama dengan Bank Indonesia, suatu
hal yang
mengusik rasa keadilan. Alangkah seramnya masalah ini dan alangkah
runyamnya bank sentral kita, kalau penggambaran atau tuduhan ini
memang benar. Ini sekaligus membenarkan penyataan bahwa lembaga ini
sarang penyamun. Hanya dengan modal
awal pendirian bank yang disetor Rp. 10 milyar para
konglomerat dapat menghimpun dana trilyunan rupiah. Mereka
terkejut, akan tetapi mereka tidak paham
sama sekali bahwa dana itu milik masyarakat. Mereka tidak paham bahwa
laba bank terdiri dari spread yang tipis, resiko kredit macet besar,
sehingga dibutuhkan mental kehati-hatian serta etika yang khusus.
Mereka mata gelap. Uang dipakai seenaknya sendiri untuk memberi
kredit kepada dirinya sendiri secara besar-besaran yang dipakai untuk
membentuk konglomerat. Maka kreditnya
banyak yang macet di tangannya sendiri. Tetapi karena bank miliknya,
maka dengan mudah laporan keuangan dapat direkayasa sampai terlihat
bagus dan sehat.
Namun ketika IMF
mengetahui bahwa bank-bank sangat kropos karena disalah gunakan oleh
pemiliknya sendiri, 16 bank yang paling parah ditutup mendadak.
Pemilik uang yang mempercayakannya pada bank-bank yang ditutup itu
tentu terkejut dan marah, karena laporan keuangan bank yang
diiklankan sangat sehat.
Dua hari kemudian berturut-turut bank-bank lain yang tidak ditutup
di-rush. IMF beserta menteri-menteri kroninya panik. Rush harus
dihentikan dengan biaya berapa saja. Dalam
beberapa hari likuiditas yang
dikeluarkan oleh BI untuk menghentikan rush sebesar Rp. 144 trilyun.
Menurut BPK lebih dari 95,78% dari uang ini tidak dapat dipertanggung
jawabkan. Setelah rush berhenti, penelitian
meyakinkan bahwa pemilik bank tidak mungkin mengembalikan BLBI,
karena dana milik masyarakat yang ditarik kembali dengan rush
diinvestasikan pada perusahaan-perusahaan.
Apakah memang demikian? Masalah ini dianggap
telah demikian jelas ada tindakan penyelewengan, ada korupsi yang
terjadi karena kolusi antara pejabat BI dengan pemilik berbagai bank.
Akan tetapi pernyataan yang menyebutkan sudah jelas ada penyelewengan
ini mendasarkan atas berbagai asumsi atau prakonsepsi yang mungkin
tidak tepat, bahkan tidak benar.
Nampaknya yang mendasari kecurigaan akan adanya
kolusi ini adalah praanggapan bahwa karena dimasyarakat sangat banyak
terjadi kolusi dan korupsi, maka tentu demikian pula dengan pemberian
BLBI kepada perbankan. Mungkin pendapat ini mendasarkan pada
argumentasi bahwa kalau orang cari secarik surat keterangan saja
sering harus membayar uang semir, apalagi memperoleh BLBI. Mungkin
tidak masuk diakal banyak orang bahwa pemberian fasilitas sebesar ini
terjadi tanpa adanya uang pelicin. Esensi dari tuduhan atau bahkan
vonis yang mengatakan bahwa pemberian BLBI yang jumlahnya fantastis
ini tentu menyangkut
uang haram. Karena kecurigaan terjadinya penyalah gunaan fasilitas
ini dan karena besarnya jumlah dana yang tersangkut, maka kemudian
dicurigai bahwa hal ini tentu terjadi karena kolusi yang menyangkut
uang pelicin. Inilah dasar dari emosi yang meluap untuk mengatakan
bahwa dalam permasalahan BLBI tentu ada unsur kolusi dan korupsi.
Kecurigaan ini bertambah karena aturan yang
jelas dari pemberian BLBI tidak pernah diketahui umum karena memang
sangat sedikit pemberian penjelasan kepada masyarakat. Bank Indonesia
yang memang tidak banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat
mengenai permasalahan ini dianggap kurang transparan, bahkan mungkin
ada tuduhan bahwa ada kesengajaan merahasiakan hal ini. Dengan
perkataan lain kurang atau
tidak adanya penjelasan ini dianggap merupakan suatu kesengajaan
untuk merahasiakan atau menutup masalah.
Pada waktu audit BPK menyebutkan bahwa terdapat
kelemahan pengawasan intern, dan karena itu angka yang disajikan
tidak bisa diterima kebenarannya, maka sebagian orang langsung
menginterpretasikan hal ini sebagai suatu konformasi adanya
peyelewengan dalam pemberian BLBI. Demikian mungkin kecurigaan dan
tuduhan dari mereka yang mengatakan bahwa ada ketidak beresan
pemberian BLBI kepada
perbankan pada waktu
berkecamuknya krisis. Padahal sekiranya kecurigaan tersebut tidak ada
sebetulnya, bahkan sekiranya terjadi penyelewengan pada
penggunaannya, ini tidak otomatis berarti ada penyelewengan dalam
pemberian fasilitas tersebut.
Keengganan untuk mengakui apalagi menerima,
bahwa kondisi waktu krisis itu berbeda dengan keadaan normal juga
menyebabkan besarnya kecurigaan tersebut. Karena itu perbedaan ukuran
yang digunakan untuk menilai keadaan juga menambah kecurigaan ini.
Padahal sebenarnya bukan sesuatu yang aneh kalau pernilaian suatu
keadaan yang luar biasa seperti krisis dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang berlaku untuk keadaan normal, menghasilkan suatu
yang menampakkan kesenjangan. Perbedaan atau kesenjangan ini menjadi
masalah karena adanya kecurigaan tersebut. Sedang tanpa kecurigaan
tersebut sebenarnya tidak harus mengherankan bahwa kita mempunyai
gambaran yang berbeda antara kondisi keadaan krisis dan normal. Akan
tetapi kalau kita tidak mau mengakui bahwa kondisinya berbeda, karena
itu ukuran yang digunakan juga sama, maka kecurigaan tersebut menjadi
timbul. Seandainya semua ini terjadi dalam keadaan normal, tanpa ada
krisis, adanya kecurigaan tersebut sudah selayaknya.
Dalam rapat di Komisi IX DPR awal Desember 1999
ada pendapat berkaitan dengan permasalahan fasilitas preshipment
(pra pengapalan), bahwa dalam
krisis kecepatan bertindak itu sangat penting, ' speed is the
essence'. Kecepatan bertindak ini menuntut indentifikasi masalah,
analisis dan penentuan tindakan, termasuk aturan pelaksanaannya harus
dilakukan sangat cepat, bahkan seolah-olah semua dilaksanakan secara
simultan. Hal ini kadang kala mengorbankan ketelitian. Kalau diukur
dengan persyaratan atau ukuran keadaan normal maka nampak yang
dilakukan minimal kelihatan acak-acakan atau ngawur. Akan tetapi yang
lebih seram adalah anggapan atau asumsi adanya kesengajaan untuk
suatu rekayasa dalam suatu perbuatan kolusif guna mencari keuntungan
pribadi atau kelompok.
Memang menganalisis setelah semuanya terjadi,
termasuk implikasi yang timbul memberi keuntungan bagi yang
menganalisis, seolah-olah menjadi jauh lebih tajam dari mereka yang
harus melakukan tanpa informasi yang mencukupi. Di Amerika Serikat
ada istilah 'Monday night
quarterbacking', artinya menganalisa
setelah kejadian berlalu. Ini memang nampak gampang karena semuanya
tampak lebih
jelas, termasuk implikasi dari masalah serta jalan keluar yang telah
diambil dan ternyata tidak optimal, bahkan mungkin keliru, menurut
kaca mata sekarang.
Memang sekarang ternyata krisis di Indonesia
dan segala implikasinya lebih parah dari negara-negara lain, meskipun
semula kebanyakan mengakui bahwa pada awalnya baik kondisi maupun
langkah-langkah yang diambil keadaan Indonesia lebih baik dari
negara-negara lain yang terkena krisis berat. Di dalam negeri
pengakuan ini memang hampir tidak ada. Akan tetapi ini mungkin karena
'budaya' kita yang sangat susah memberi apresiasi, bahkan untuk hal
yang jelas terjadi.
Menurut catatan
Dr. Stiglitz, Chief Economist
Bank Dunia mengenai hal ini pantas direnungkan. Dengan menggunakan
ilustrasi kecelakaan mobil di suatu jalan dia mengatakan bahwa kalau
kecelakaan tersebut hanya sekali dua kali terjadi, mungkin yang salah
adalah pengemudinya. Akan tetapi kalau kecalakaan tersebut sering
sekali terjadi atau terdapat banyak kecelakaan ditempat tersebut,
maka mungkin perlu dipertanyakan konstruksi dari jalan tersebut serta
keadaan sekelilingnya.
Dengan mengambil paralelisasi dari kecelakaan
di atas, krisis yang melanda demikian banyak negara ini memang tidak
bisa kita lihat sebagai suatu yang berdiri sendiri. Kita harus
bersedia mengakui bahwa krisis yang terjadi selain saling terkait
juga merupakan masalah yang berkaitan dengan sistim yang berlaku,
kelembagaan atau infrastruktur yang ada pada perekonomian
masing-masing, baik pada sektor ekonomi-keuangan maupun
sosial-politik. Kelembagaan atau infrastruktur yang merupakan bagian
dari sistim yang ada ini merupakan lingkungan bekerjanya roda
ekonomi-keuangan. Kita boleh saja mengatakan ini terlalu teoritis
atau abstrak, akan tetapi semua ini sangat jelas mempunyai andil
mengenai terjadinya krisis, bagaimana jalan keluar yang dicoba
ditempuh, bagaimana reaksi masyarakat dengan seluruh implikasi dan
dampaknya. Terlalu cepat menuduh pengemudinya yang salah, meskipun
mengasyikkan dapat menjauhkan kita dari menemukan masalah yang
sebenarnya. Terlalu lama berdebat dalam mencari siapa yang salah juga
mengandung resiko bertambah besarnya masalah yang akhirnya harus
diselesaikan dan biaya yang harus dipikul.
Apakah ini merupakan upaya memindahkan
kesalahan pada keadaan yang terjadi, pada sistim yang ada atau pada
orang lain? Tidak, bukan demikian. Ini
hanya mengingatkan bahwa
menggunakan asumsi seolah-olah semuanya serba normal, semua
persyaratan dipenuhi, untuk menganalisa apa yang terjadi pada waktu
krisis, pada waktu keadaan sangat jauh dari biasa, jelas tidak
realistis. Memang dalam analisis politik harus ada yang diminta
bertanggung jawab. Tetapi ini harus dibedakan dengan menentukan siapa
yang menjadi kambing hitam.
- Semua Turut Andil
BI, sebagai bank sentral yang menjalankan fungsi
lending of the last resort,
bertindak ceroboh. Hasil Audit BPK dan BPKP menunjukkan sebagian
besar penyaluran BLBI oleh BI sekitar 95,8% dari total BLBI sebesar
Rp 144,5 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap penyelesaian BLBI, korupsi terjadi lagi
dan menimbulkan skandal baru. Obligor sengaja menyerahkan kepada BPPN
aset-aset yang tak layak, di bawah nilai pinjaman, dan bahkan fiktif
sebagai jaminan pelunasan kewajiban mereka. Menurut audit BPK, dari
Rp 132,7 triliun aset yang diserahkan, nilai komersial aset hanya Rp
12,29 triliun. Kurang dari 10%! Sudah begitu, melalui kolusi dengan
pejabat BPPN, SKL (Surat Keterangan Lunas) dengan mudah diberikan
kepada obligor meskipun mereka hanya membayar sebagian kecil
kewajibannya (rata-rata hanya sekitar 28%). Salim Group hanya
mengembalikan dana sekitar 36,77% dari dana BLBI lebih dari Rp 25
triliun. Dengan kelihaiannya, tentu melalui kolusi dengan pejabat
terkait, pemilik lama bisa membeli kembali asetnya yang sudah
diserahkan kepada Pemerintah. Bahkan dengan harga sangat murah. BCA,
misalnya, direstrukturisasi dengan obligasi sebesar Rp 60,9 triliun,
namun 51% sahamnya dijual hanya Rp 5,3 triliun. Ironinya, menurut
Kwik, keputusan jahat seperti ini dibuat dalam rapat kabinet. Semua
peserta rapat—Presiden Mega, Wapres Hamzah Haz, termasuk SBY dan
Yusuf Kalla serta Boediono—menyetujui keputusan aneh ini. Hanya
Menteri Kwik saja yang menolak. Bukan hanya BCA, TPN (milik Humpuss)
yang merupakan pembayar atas utang Humpuss senilai Rp 4,576 triliun
dijual kepada Vista Bella (ditengarai juga terafiliasi Humpuss)
senilai Rp 521 miliar saja.
Kekacauan penyelesaian skandal BLBI makin
menjadi-jadi dengan dihapusnya aspek pidana obligor yang telah
memperoleh SKL melalui pemberian fasilitas R&D atau Release
and Discharge (pelepasan dan
pengapusan) berdasarkan Inpres No 8/2002 yang ditandatangani oleh
Presiden Megawati. Sebelumnya, Presiden BJ Habibie memulai
penyelesaian kasus BLBI secara out of
court settlement. Sekarang, Presiden
SBY tidak tegas terhadap 8 obligor, bersedia menegosiasikan JKPS dan
bahkan sempat menyambut obligor di Istana.
- Intervensi Asing
Semua kekacauan dan kebodohan luar biasa ini, di
samping akibat kesalahan Pemerintah, juga amat dipengaruhi oleh
tindakan IMF. Dengan kewenangan yang dimiliki pasca ditandatanganinya
LOI, IMF bebas melakukan intervensi, mencampuri dan memaksakan
kehendaknya pada hampir seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat
pemerintah melalui LOI dan Memorandum
on Economic and Financial Policies.
Tercatat, terdapat sekitar 1.300 butir kesepakatan LOI yang harus
diimplementasikan Pemerintah. IMF telah memberikan rekomendasi
ekonomi, bukan hanya salah tetapi menjerumuskan, yang akibatnya
justru memperparah krisis. IMF, misalnya, menekan Pemerintah untuk
mengucurkan obligasi rekap dalam jumlah besar kepada pihak perbankan
(melalui desakan target penguatan CAR minimal 8%). Lalu, IMF menekan
Pemerintah untuk segera menjual bank-bank rekap (antara lain BCA dan
BDNI) dalam waktu singkat sehingga harga jualnya sangat rendah
seperti yang dijelaskan di muka.
- Kronologis kejadian yang menyebabkan terjadinya permasalahan BLBI
Skandal BLBI secara kronologis hingga detik ini masih dianggap
misterius, kasus ini dibiarkan mengambang tak jelas
arah dan tujuannya. Runtuhnya rezim
Soeharto disamping krisis ekonomi, juga masalah moneter yang terjadi
dari sektor perbankan kita. BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) lahir untuk mengatasi masalah ini, yaitu menutupi talangan
hutang luarnegeri yang dilakukan para bankir tersebut.
Bank yang banyak menjamur sebagai akibat kebijakan deregulasi
perbankan dimasa orde baru akhirnya runtuh dan jatuh
bangkrut, serta tetap tidak kuat menahan nilai mata uang
rupiah yang terus menurun, juga
sektor perekonomian kita (industrialisasi yang dibantu oleh
kredit bank) yang berantakan akibat kredit macet.
Kredit macet itu saling berkaitan dan tali temali, antara
industri terhadap bank, bank terhadap pemerintah, pemerintah terhadap
bantuan asing, sehingga menambah beban hutang luarnegeri kita total
menjadi 1200 trilyun. Akhirnya banyak bank yang diambil alih
pemerintah dan kemudian dijual kembali dibursa saham setelah
sehat atau merger (digabungkan). Dan ada juga yang dinyatakan
bangkrut dan hilang tak tentu rimbanya (begitupula pemiliknya).
Berikut ini daftar kronologis kejadian-kejadian
yang menyangkut BLBI dalam bentuk tabel.
No.
|
Waktu
|
Keterangan
|
|
Juli
1997
|
|
|
Agustus
1997
|
|
|
September
1997
|
|
|
Oktober
1997
|
|
|
November
1997
|
|
|
Desember
1997
|
|
|
Januari
1998
|
|
|
Februari
1998
|
|
|
Maret
1998
|
|
|
April
1998
|
|
|
Mei
1998
|
|
|
Agustus
1998
|
|
|
Oktober
1998
|
|
|
September
1998
|
|
|
November
1998
|
|
|
Januari
1999
|
|
|
Februari
1999
|
|
|
Maret
1999
|
|
|
Januari
2000
|
|
|
Juli
2000
|
|
|
Agustus
2000
|
|
Sumber: Marwan batubara Et.
All, Skandal
BLBI, 2008
|
- Penyelesaian kasus BLBI
Pemerintah, dalam hal ini melalui BPPN,
terus melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan pengembalian uang
negara dari tangan para bankir, para pemegang saham terkait maupun
dari para debitur masing-masing bank yang mendapatkan penyaluran dana
BLBI. Berbagai konsep penyelesaian yang sifatnya menyeluruh telah
dibuat dalam rangka mendapatkan kembali dana BLBI tersebut.
Dalam upayanya mengoptimalkan pengembalian
uang negara BPPN telah melakukan upaya penyelesaian dengan membuat
beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari
para pemegang saham bank penerima BLBI. Perjanjian tersebut berupa:
- Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali.Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreemen (MSAA), pola ini dan master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN.
- Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modalsementara (PMS).
- Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU). MSAA merupakan skema untuk penerima BLBI yang dinilai asetnya mampu menutupi seluruh kewajiban. MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali (PSP) bank yang masih memiliki harta cukup untuk menyelesaikan kewajibannya terhadap pemerintah. MSAA sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu terhadap pemegang saham pengendali Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan terhadap pemegang pengendali saham Bank Take Over (BI, 2002). Masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, serta Bank Risjad Salim International. Jika aset yang diserahkan dinilai tidak mencukupi, para pengutang BLBI menggunakan skema MRNIA. Melalui skema ini, para penandatangan harus menyerahkan jaminan pribadi atau personal guarantee dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset, bila aset yang sudah diserahkan ternyata tetap belum mencukupi. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, Bank Hokindo. Skema penyelesaian dengan MSAA kemudian menimbulkan kontroversi. Terutama karena aset yang diserahkan ternyata tidak sebanding dengan besar utang. Untuk itu, pemerintah menggunakan skema Akta Pengakuan Utang. Skema ini sama dengan MSAA, hanya pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab bila aset yang diagunkan ternyata tidak cukup untuk mengembalikan BLBI yang telah diterima. Sedangkan PKPS merupakan penyempurnaan terhadap mekanisme penyelasaian BLBI melalui MSAA dan MRNIA yang mengundang banyak komentar negatif. Caranya melalui penandatanganan akta pengakuan utang (APU). Dalam akta pengakuan utang (APU), mekanisme penyelesaian kewajiban pemegang saham adalah dengan pembayaran secara tunai dalam jangka waktu secara berkala. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari bank-bank Bumi Raya Utama, BIRA, Sewu, Hastin, Tata, Namura Yasonta, Indotrade, Putera, Baja, Lautan Berlian, Papan Sejahtera, Yama, Tamara, Nusa Nasional, Intan, PSP, Namura Maduma, Bahari, Metropolitan, Bank Umum Servitia, Aken, Mashill, dan Sanho. Untuk APU, telah dilakukan reformulasi jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS). Selain itu pembayaran yang berdasarkan perjanjian sebelumnya jatuh tempo pada akhir 2004, dipercepat menjadi selambat-lambatnya Juni 2003. Karena itu tidak ada jalan lain bagi pemegang saham yang tidak kooperatif selain penyelesaian hukum dengan melaporkan ke Kejaksaan
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Jika ditelaah lebih dalam maka akar masalah
skandal BLBI disebabkan oleh:
Pertama,
adanya intervensi asing dan lemahnya
pemerintahan. Asing, dalam hal ini IMF,
melalui LoI diberi kesempatan oleh Pemerintah untuk mengatur
perekonomian Indonesia. Alih-alih mengatur, yang terjadi justru
membuat hancur dan menjerumuskan Indonesia ke jurang kemiskinan dan
kesengsaraan, ditambah
lagi sikap tunduk dan patuh terhadap pihak asing.
Kedua, skandal
BLBI memang sarat dengan praktik kolusi, korupsi dan pelanggaran
aturan yang sudah ada. Melalui Inpres No 8/2002 Pemerintah memilih
penyelesaian skandal BLBI dengan lebih mengutamakan pengembalian aset
dibandingkan dengan penegakan hukum. Dengan Inpres ini, Pemerintah
memberi penjahat BLBI bukti penyelesaian berupa pelepasan dan
pembebasan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, serta
memberi kesempatan terus-menerus kepada mereka dengan tenggat waktu
yang selalu molor dalam pengembalian hutang, melalui mekanisme MSAA,
MRNIA dan APU.
Menurut Marwan Batubara (Anggota DPD RI), skandal
BLBI sangat sulit diselesaikan karena melibatkan dana besar, yang
juga berarti para pengusaha besar; di samping melibatkan para
penguasa dan lembaga internasional (IMF), yang memang berkepentingan
dan mendapat keuntungan langsung dari kasus ini. Selain itu, juga ada
upaya dari para penjahat BLBI yang ingin aman, supaya skandal
tersebut tidak diungkit-ungkit. Mereka semuanya berkolusi dan
menguasai lembaga-lemabaga peradilan dan lembaga-lembaga negara,
termasuk orang-orang di parlemen.
Ketiga, Pro
Kapitalis. Kebijakan Pemerintah memberikan bantuan likuiditas kepada
bank-bank yang bangkrut sebesar Rp 143triliun tersebut, sementara
faktor utama penyebab kebangkrutanjustru terjadi karena kejahatan
yang mereka lakukan sendiri, dimana uang rakyat yang dikumpulkan oleh
para pemilik bank itu kemudian mereka pakai sendiri untuk membiayai
proyek mereka. Nyata sekali ini merupakan bentuk pemihakan Pemerintah
kepada para kapitalis, dan telah memiskinkan rakyatnya sendiri.
Sebabnya, dana-dana yang sebenarnya bisa dipakai untuk kepentingan
rakyat, justru digunakan untuk membantu para penjahat hitam.
Marwan batubara Et.
All, Skandal BLBI, 2008
Posting Komentar untuk "Permasalahan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)"
Silakan berkomentar dengan bijak, tidak mengandung ujaran kebencian, kalimat tidak pantas ataupun pornografi.